KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA
Berbicara mengenai suku Jawa, yang merupakan suku bangsa terbesar di
Indonesia. Di tahun 2004 saja, telah tercatat lebih dari 90 juta lebih
orang yang bersuku bangsa Jawa. Beberapa orang pasti menyangka bahwa
yang dimaksud dengan suku Jawa adalah orang-orang yang lahir, mendiami
daerah wilayah Jawa Tengah dan menggunakan bahasa ibu bahasa Jawa.
Padahal, daerah kebudayaan Jawa itu luas, meliputi seluruh bagian tengah
dan timur dari pulau Jawa. walaupun pada kenyataanya, tetap saja tampak
perbedaan karakteristik antara orang-orang yang mendiami daerah Jawa
Tengah dan Yogyakarta, dengan orang-orang yang mendiami daerah Jawa
Timur. Selain suku bangsa Jawa, ada juga subsuku dari suku bangsa ini,
yaitu suku osing dan suku tengger.
Di kalangan masyarakat, tercipta stereotip tentang perangai orang Jawa
yang begitu halus, sopan dan pasrah menjalani hidup atau nrimo, Sifat
ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang berusaha untuk menjaga
harmoni atau keserasian juga menghindari konflik. Mereka cenderung diam
dan tidak banyak berkomentar untuk menghindari konflik.
Sistem kekerabatan yang digunakan oleh orang Jawa pada umumnya adalah
Patrilineal, atau menggunakan garis keturunan dari pihak ayah. Hal ini
sama seperti kebanyakan suku di Indonesia, seperti suku Batak.
Dalam kehidupan nasional pun, eksistensi orang-orang yang berasal dari
suku Jawa tidak perlu diragukan lagi, mereka memegang banyak peranan
penting dan posisi strategis di pemerintahan, tatanan sistem politik,
sampai dengan dunia hiburan. Misalnya saja, lima dari enam orang
presiden yang pernah memerintah di Indonesia adalah orang Jawa. mulai
dari Soekarno, Soeharto, abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri,
hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Dan tokoh-tokoh lainya seperti Sri
Mulyani Indrawati, Khofifah Indar Parawangsa, Anggun C Sasmi, bahkan
Michelle Branch, yang kita kenal sebagai penyanyi internasional pun
ternyata memiliki garis keturunan orang Jawa.
Gambar. 1 orang Jawa
2.1 Peralatan dan Perlengkapan Hidup
Sebagai suatu kebudayaan, suku Jawa tentu memiliki peralatan dan
perlengkapan hidup yang khas diantaranya yang paling menonjol adalah
dalam segi bangunan. Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Jawa
memiliki ciri sendiri dalam bangunan mereka, khususnya rumah tinggal.
Ada beberapa jenis rumah yang dikenal oleh masyarakat suku Jawa,
diantaranya adalah rumah limasan, rumah joglo, dan rumah serotong. Rumah
limasan, adalah rumah yang paling umum ditemui di daerah Jawa, karena
rumah ini merupakan rumah yang dihunu oleh golongan rakyat jelata.
Sedangkan rumah Joglo, umumnya dimiliki sebagai tempat tinggal para kaum
bangsawan, misalnya saja para kerabat keraton.
Umumnya rumah di daerah Jawa menggunakan bahan batang bambu, glugu
(batang pohon nyiur), dan kayu jati sebagai kerangka atau pondasi rumah.
Sedangkan untuk dindingnya, umum digunakan gedek atau anyaman dari
bilik bambu, walaupun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman,
banyak juga yang telah menggunakan dinding dari tembok. Atap pada
umumnya terbuat dari anyaman kelapa kering (blarak) dan banyak juga yang
menggunakan genting.
Gambar . 3 Rumah khas Jawa
2.2 Mata Pencaharian Hidup dan Sistem Ekonomi
Tidak ada mata pencaharian yang khas yang dilakoni oleh masyarakat suku
Jawa. pada umumnya, orang-orang disana bekerja pada segala bidang,
terutama administrasi negara dan kemiliteran yang memang didominasi oleh
orang Jawa. selain itu, mereka bekerja pada sektor pelayanan umum,
pertukangan, perdagangan dan pertanian dan perkebunan. Sektor pertanian
dan perkebunan, mungkin salah satu yang paling menonjol dibandingkan
mata pencaharian lain, karena seperti yang kita tahu, baik Jawa Tengah
dan Jawa Timur banyak lahan-lahan pertanian yang beberapa cukup dikenal,
karena memegang peranan besar dalam memasok kebutuhan nasional, seperti
padi, tebu, dan kapas.
Tetapi orang Jawa juga terkenal tidak memiliki bakat yang menonjol
dalam bidang industri dan bisnis seperti halnya keturunan etnis
tionghoa. Hal ini dapat terlihat, bahwa pemilik industri berskala besar
di Indonesia, kebanyakan dimiliki dan dikelola oleh etnis tionghoa.
2.3 Sistem Kemasyarakatan
Dalam sistem kemasyarakatan, akan dibahas mengenai pelapisan sosial.
Dalam sistem kemasyarakatan Jawa, dikenal 4 tingkatan yaitu Priyayi,
Ningrat atau Bendara, Santri dan Wong Cilik.
Priyayi ini sendiri konon berasal dari dua kata bahas Jawa, yaitu
“para” dan “yayi” atau yang berarti para adik. Dalam istilah kebudayaan
Jawa, istilah priyayi ini mengacu kepada suatu kelas sosial tertinggi di
kalangan masyarakat biasa setelah Bendara atau ningrat karena memiliki
status sosial yang cukup tinggi di masyarakat. Biasanya kaum priyayi ini
terdiri dari para pegawai negeri sipil dan para kaum terpelajar yang
memiliki tingkatan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
orang-orang disekitarnya
Ningrat atau Bendara adalah kelas tertinggi dalam masyarakat Jawa. pada
tingkatan ini biasanya diisi oleh para anggota keraton, atau
kerabat-kerabatnya, baik yang memiliki hubungan darah langsung, maupun
yang berkerabat akibat pernikahan. Bendara pu memiliki banyak tingkatan
juga di dalamnya, mulai dari yang tertinggi, sampai yang terendah. Hal
ini dapat dengan mudah dilihat dari gelar yang ada di depan nama seorang
bangsawan tersebut.
. Yang ketiga adalah golongan santri. Golongan ini tidak merujuk kepada
seluruh masyarakat suku Jawa yang beragama muslim, tetapi, lebih mengacu
kepada para muslim yang dekat dengan agama, yaitu para santri yang
belajar di pondok-pondok yang memang banyak tersebar di seluruh daerah
Jawa.
Terakhir, adalah wong cilik atau golongan masyarakat biasa yang
memiliki kasta terendah dalam pelapisan sosial. Biasanya golongan
masyarakat ini hidup di desa-desa dan bekerja sebagai petani atau buruh.
Golongan wong cilik pun dibagi lagi menjadi beberapa golongan kecil
lain yaitu:
Wong Baku : golongan ini adalah golongan tertinggi dalam golongan wong
cilik, biasanya mereka adalah orang-orang yang pertama mendiami suatu
desa, dan memiliki sawah, rumah, dan juga pekarangan.
Kuli Gandok atau Lindung : masuk di dalam golongan ini adalah para
lelaki yang telah menikah, namun tidak memiliki tempat tinggal sendiri,
sehingga ikut menetap di tempat tinggal mertua.
Joko, Sinoman, atau Bujangan : di dalam golongan ini adalah semua
laki-laki yang belum menikah dan masih tinggal bersama orang tua, atau
tinggal bersama orang lain. Namun, mereka masih dapat memiliki tanah
pertanian dengan cara pembelian atau tanah warisan.
Pembagian sosial masyarakat bukan hanya terbagi oleh sistem kebudayaan
seperti yang kami tuturkan diatas saja. Pada tahun 1960-an, seorang
antropolog amerika Cliford Geertz pun mengemukakan pelapisan sosial
masyarakat terbagi menjadi tiga yaitu, santri, abangan, dan priyayi.
Yang membedakan kaum santri dengan kaum abangan (walaupun mereka
sama-sama seorang muslim) adalah, jika santri adalah para orang Jawa
yang dididik dengan dasar agama islam yang kuat (karena banyaknya pondok
pesantren yang berdiri di Jawa). sedangkan kaum abangan, walaupun dalam
pendataan mereka menganut kepercayaan sebagai muslim, namun dalam
implementasi sehari-hari mereka lebih mengamalkan ajaran kepercayaan
asli yang berkembang di Jawa, yaitu kejawen.
Selain pelapisan sosial masyarakat, dalam sistem kemasyarakatan ini kami
akan membahas tentang bentuk desa sebagai kesatuan masyarakat terkecil
setelah rt dan rw yang umum ditemui di masyarakat Jawa.
Desa-desa di Jawa umumnya dibagi-bagi menjadi bagian-bagian kecil yang
disebut dengan dukuh, dan setiap dukuh dipimpin oleh kepala dukuh. Di
dalam melakukan tugasnya sehari-hari, para pemimpin desa ini dibantu
oleh para pembantu-pembantunya yang disebut dengan nama Pamong Desa.
Masing-masing pamong desa memiliki tugas dan perananya masing-masing.
Ada yang bertugas menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban desa,
sampai dengan mengurus masalah perairan bagi lahan pertanian warga.
2.4 Bahasa
Bahasa Jawa, sebagai bahasa ibu dan bahasa pergaulan sehari-hari
masyarakat suku Jawa, ternyata di dalamnya pun dikenal berbagai macam
tingkatan dan undhak-undhuk basa. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu
asing, mengingat beberapa bahas lain yang berada dalam rumpun
austronesia pun dikenal undhak-undhuk dalam berbahasa.
Terdapat tiga bentuk utama tingkatan variasi bahasa Jawa, yaitu ngoko
(“kasar”), madya (“biasa”), dan krama (“halus”). Namun , pada tingkat
yang lebih spesifik lagi, terdapat 7 (tujuh) tingkatan dalam berbahasa
Jawa, diantaranya: ngoko, ngoko andhap, madhya, madhyantara, kromo,
kromo inggil, bagongan, kedhaton. Di antara masing-masing bentuk ini
terdapat bentuk “penghormatan” (ngajengake, honorific) dan “perendahan”
(ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada
suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status
bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang
anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian
ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama
andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di
Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang
memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Selain undhak-undhuk atau tingkatan bahasa, dikenal juga dialek yang
berbeda-beda diantara orang-orang Jawa itu sendiri. Dalam hal ini,
perbedaan dialek, dibagi menjadi 3 daerah, yaitu kelompok barat, tengah
dan timur. Kelompok barat terdiri dari dialek Banten, Cirebon, Tegal,
Banymas, dan Bumiayu. Kelompok tengah terdiri dari Pekalongan, kedu,
bagelen, Semarang, Pantai Utara Timur (jepara,Demak, Rembang, Kudus,
Pati), Blora, Surakarta, Yogyakarta, Madiun. Sedangkan, Kelompok dialek
timur terdiri dari Pantura Timur (Tuban, dan Bojonegoro), Surabaya,
Malang, Jombang, Tengger, Banyuwangi.
Selain memiliki bahasa tersendiri, masyarakat suku Jawa pun memiliki
huruf tersendiri yang pada umunya mereka gunakan dalam kehidupan
sehari-hari
Gambar.2 huruf Jawa
Keberadaan huruf Jawa (juga memiliki kemiripan dengan huruf Sunda,
Bali, dan sasak) yang dikenal sekarang ini, tentu tidak lepas dari
sejarah yang mengiringinya, salah satu cerita tentang sejarah huruf Jawa
ini adalah cerita tentang Ajisaka yang pada awalnya mencipatakan aksara
Jawa yang dikenal dengan istilah dhentawyanjana atau carakan. Aji saka
menciptakan aksara Jawa ini pada saat dia sedang berkelana dengan
pengawalnya yang setia yaitu Dora, dan sampai di pegunungan kendeng.
Saat itu dora bertemu dengan Sembada, sahabatnya. Setelah itu,
terjadilah kesalah pahaman yang mengakibatkan Dora dan Sembada berkelahi
karena masing-masing dari mereka ingin membuktikan siapa dari mereka
yang lebih setia kepada aji saka. Dan untuk mengenang jasa kedua
pengawalnya tersebut, aji saka menciptakan sebuah syair yang kemudian
hari menjadi asal mula dari huruf Jawa sekarang ini.
Huruf Jawa atau lebih dikenal dengan huruf honocoroko ini terdiri dari
20 huruf, dimana setiap huruf nya memiliki makna tersendiri,
diantaranya:
Ha – Hana Hurip Wening Suci – adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci.
Na - Nur Gaib, Candra Gaib, Warsitaning Gaib – pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Ilahi.
Ca – Cipta Wening, Cipta Mandulu, Cipta Dadi – arah dan tujuan pada yang Maha Tunggal.
Ra – Rasaingsun Handulusih – rasa cinta sejati muncul dari rasa kasih nurani.
Ka – Kersaningsun Memayu Hayuning Bawana – hasrat diarahkan untuk kesejahtraan alam.
Dha – Dumadining Dzat kang tanpa winangenan – menerima hidup apa adanya.
Ta – Tatas, Titis, Tutus, Titi lan Wibawa – mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup.
Sa – Sifat Ingsun Handulu Sifatullah – membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan.
Wa – Wujud Hana Tan Kena Kinira – ilmu manusia hanya terbatas, namun implikasinya bisa tanpa batas.
La – Lir Handaya Paseban Jati – mengalirkan hidup sebatas pada tuntunan Ilahi.
Pa – Papan Kang Tanpa Kiblat – Hakikat Allah yang ada di segala arah.
Da – Dhuwur Wekasane Endek Wiwitane – Untuk bisa diaatas tentu dimulai dari dasar.
Ja – Jumbuhing Kawula Lan Gusti – selalu berusaha menyatu, memahami kehendaknya.
Ya – Yakin Marang Samubarang Tumindak Kang Dumadi – yakin atas titah atau kodrat Ilahi.
Nya – Nyata Tanpa Mata, Ngerti Tanpa Diuruki – memahami kodrat kehidupan
Ma – Madep, Mantep, Manembah, Mring Ilahi – yakin atau mantap dalam menyembah Ilahi.
Ga – Guru Sejati Sing Mruki – belajar dari guru nurani.
Ba - Bayu Sejati Kang Andalani - menyelaraskan diri pada gerak alam.
Tha – Tukul Saka Niat – sesuatu harus tumbuh dan dimulai dari niatan.
Nga – Ngracut Busananing Manungso – melepaskan egoisme pribadi.
Seperti bahasa lainya, huruf Jawa pun memiliki aturan tersendiri dalam
tata cara penggunaanya. Diantaranya adalah adanya pasangan. Jika aksara
Jawa yang akan digunakan bersifat silabis atau kesukukataan, maka akan
susah untuk menuliskan huruf mati, maka dari itu cara penulisanya
digunakan pasangan. Lalu ada juga Aksara Murda. Fungsi dari aksara murda
ini hampir serupa dengan fungsi huruf kapital pada Bahasa Indonesia.
Seperti penggunaan untuk nama orang, dan nama geografi.
Selanjutnya adalah Aksara Swara, fungsi dari aksara swara ini adalah
untuk menuliskan aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang
berasal dari bahasa asing untuk mempertegas pelafalanya.
Sandangan adalah tanda yang dipakai sebagai pengubah bunyi di dalam
tulisan Jawa. di dalam penulisan bahasa Jawa, aksara atau huruf yang
tidak mendapat sandangan diucapkan sebagai gabungan antara konsonan dan
vokal a.
2.5 Kesenian
Kesenian yang terdapat dalam kebudayaan Jawa sangat beraneka ragam,
mulai dari tari-tarian, lagu daerah, wayang orang, dan juga wayang
kulit, serta masih ada berbagai macam kesenian lainya.
Yang pertama adalah tari-tarian. Dalam bahasa Jawa, tari disebut dengan
kata beksa yang berasal dari kata “ambeg” dan “esa” kata tersebut
mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah
benar-benar menuju satu tujuan, yaitu meyerahkan seluruh jiwanya pada
tarian.
Seni tari di Jawa sendiri mengalami kejayaan pada masa kerajaan kediri,
singasari, dan majapahit. Pada masa sekarang ini, kota surakarta
dianggap sebagai pusat seni tari, terutama di Keraton Surakarta dan Pura
Mangkunegaran.
Seni tari dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
Tari Klasik
Tari Tradisional
Tari Garapan Baru
Beberapa contoh tarian sebagai bagian dari kebudayaan suku Jawa antara lain:
Tari Bedhaya
Tari Bedhaya Ketawang ini dipercaya diciptakan oleh Sultan Agung, raja
pertama dari kerajaan Mataram, dan disempurnakan oleh Sunan Kalijaga.
Tari Bedhaya Ketawang ini, tidak hanya ditampilkan pada saat penobatan
raja yang baru, tetapi juga tiap tahunya, yang bertepatan dengan hari
penobatan raja atau ratu.
Pada pementasan tari Bedhaya Ketawang, digunakan kostum Dodot Ageng
dengan motif Banguntulak alas-alasan. Dari segi alat musik pengiring pun
sangat spesial, karena digunakan yaitu gamelan Kyai Kaduk Manis dan
Kyai Manis Renggo.
Pada zaman Sri Susuhunan PakuBuwono XII, pertunjukan tari Bedhaya
Ketawang, selalu diselenggarakan pada hari kedua bulan Reuwah atau bulan
Syaban dalam kalender Jawa.
Tari Srimpi
Tarian ini tidak diketahui dengan pasti sejak kapan muncul di lingkungan
keraton. Tetapi diperkirakan mulai ada saat Prabu Amiluhur masuk ke
keraton. Tarian ini dipentaskan oleh empat orang putri yang melambangkan
empat unsur, dan empat penjuru mata angin.
Dari beberapa jenis tari Srimpi, ada satu yang dianggap sakral atau suci, yaitu Tari Srimpi Anghlir Mendhung.
Tari Pethilan
Tari Pethilan adalah suatu tarian yang gerakanya terinsipirasi atau
mengambil salah satu bagian dari cerita pewayangan. Dalam pementasanya,
tarian ini boleh memiliki gerakan yang sama atau tidak antar penarinya,
boleh menggunakan ontowacono atau dialog dalam tarianya, pakaian yang
digunakan tidak sama ssetiap penarinya, kecuali yang memerankan lakon
kembar. Dalam kisah yang termuat dalam tarian pun, ada peran yang mati
dan yang tetap bertahan hidup.
Tari Golek
Tari ini berasal dari Yogyakarta, dan pertama kali dipentaskan pada
perayaan pernikahan KGPH Kusumoyudho dan Gusti Ratu Angger di tahun1910.
Tarian ini menggambarkan cara-cara berhias diri seorang gadis yang baru
memasuki masa dewasanya, agar terlihat lebih cantik dan menarik.
Tari Bondan
Tari Bondan memiliki tiga jenis, yaitu Bondan Cindogo, Bondan Marsidiwi,
dan Bondan Pegunungan atau Tani. Tari Bondan Cindogo dan Marsidiwi,
merupakan tarian gembira, dibuat untuk mengungkapkan kegembiraan atas
kelahiran anak.
Tari Topeng
Tarian ini sebenarnya secara tidak langsung diilhami oleh wayang wong,
atau wayang orang. Tarian ini sempat mengalami kejayaan pada masa
kerajaan majapahit. Lalu pada masa masuknya islam, sunan kalijaga
menggunakanya sebagai media penyebaran islam. Beliau juga lah yang
menciptakan 9 jenis tari topeng diantaranya: Topeng Panji Ksatrian,
Condrokirono, Gunung sari, Handoko, Raton, Klono, Denowo, Benco, dan
Turas.
Tari topeng sendiri dianggap sebagai perlambang sifat manusia, karena
banyaknya model topeng yang menggambarkan emosi manusia yaitu marah,
sedih, kecewa, dll. Biasanya cerita yang diangkat dalam tari topeng
adalah bagian dari hikayat atau cerita rakyat, terutama cerita-cerita
panji.
Tari Dolalak
Tarian ini dipentaskan oleh beberapa penari yang mengenakan kostum ala
parjurit Belanda atau Prancis tempo dulu, dan diiringi oleh alat musik
seperti kentrung, rebana, kendang, kencer, dll. Menurut legenda, tarian
ini terinspirasi dari semangat perjuangan perang rakyat aceh yang
kemudian meluas ke daerah lain di nusantara.
Kedua, adalah berbagai macam kesenian rakyat yang dikenal di masyarakat Jawa, baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Patolan atau prisenan yang dikenal di daerah rembang, Jawa Tengah.
Kesenian ini adalah semacam olahraga gulat rakyat, dan dipimpin oleh dua
orang wasit dari masing-masing pihak. Olahraga yang juga hiburan ini
biasanya dimainkan di tempat berpasir seperti di pinggir pantai.
Daerah blora dikenal memiliki kesenian barongan, kuda kepang, dan wayang
krucil (sejenis wayang kulit, namun terebuat dari kayu).
Di daerah pekalongan, dikenal kesenian kuntulan dan sintren. Kuntulan
adalah kesenian bela diri yang dilukiskan dengan tarian dengan iringan
bunyi-bunyian seperti bedug, dll. Sedangkan sintren, yang juga dikenal
luas di cirebon, adalah sebuah tarian yang dipenuhi dengan unsur mistis.
Dimana sang penari melakukan gerakan tarian dalam keadaan tidak sadar.
Pertunjukan sintren biasanya dipentaskan pada saat bulan purnama setelah
panen.
Lengger calung, adalah kesenian tradisional yang berasal dari daerah
banyumas. Tarian ini terdiri dari lengger (penari) dan calung (alat
musik bambu). Gerakan tarianya sangat dinamis dan lincah mengikuti irama
dari calung. Beberapa gerakan khas dari tarian lengger adalah geyol,
gedhag, dan lempar sampur. Dahulu penari lengger adalah para pria yang
berdandan seperti wanita, namun sekarang para pria tersebut hanyalah
sebagai pelengkap tarian saja.
Gambar. 5 tari lengger calung
Selain kesenian yang berbentuk tarian, suku Jawa pun memiliki
kesenian dalam bentuk lain, misalnya saja dalam seni musik. Baik
berbentuk alat musik khas daerah, maupun berbentuk lagu-lagu daerah
Alat musik yang khas, dan tentu saja paling terkenal dari Jawa adalah
gamelan Jawa. Gamelan Jawa ini memiliki bentuk gamelan yang berbeda
dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada
yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan
Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling.
Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandanganhidup tersendiri yang
diungkapkan dalam irama musik gamelannya. Satu set gamelan biasanya
terdiri dari Kendang, Saron, Bonang, Slentem, Gambang, Gong, Kempul,
Kenong, Ketug, Clempung, Keprak, dan Bedug.
Gamelan Jawa sendiri memiliki dua jenis yaitu Gamelan Salendro dan
Gamelan Pelog. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringipertunj
ukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain- lain. Sedangkan
Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelansalendro, hanya kurang
begitu berkembang dan kurangakrab di masyarakat dan jarang dimiliki
oleh grup-grup kesenian di masyarakat
Gambar. 6 set gamelan Jawa
Alat musik khas daerah berikutnya adalah Jula-Juli. Jula-Juli adalah
salah satu gendhing khas dari Jawa Timur, dan sangat lazim digunakan
untuk mengiringi Ludruk dan Tari Remo.
Sedangkan bentuk kesenian seni musik yang berupa lagu-lagu daerah dari
Jawa antara lain: Bapak Pucung, Cublak-Cublak Suweng, Gambang Suling,
Gai Bintang, Gek Kepriye, Gundul-Gundul Pacul, Lir-ilir, Jamuran,
Kembang Malathe, Karapan Sape.
2.6 Sistem Pengetahuan
Salah satu bentuk sistem pengetahuan yanga ada, berkembang, dan masih
ada hingga saat ini, adalah bentuk penanggalan atau kalender. Bentuk
kalender Jawa menurut kelompok kami, adalah salah satu bentuk
pengetahuan yang maju dan unik yang berhasil diciptakan oleh para
masyarakat Jawa kuno, karena penciptaanya yang terpengaruh unsur budaya
islam, Hindu-Budha, Jawa Kuno, dan bahkan sedikit budaya barat. Namun
tetap dipertahankan penggunaanya hingga saat ini, walaupun penggunaanya
yang cukup rumit, tetapi kalender Jawa lebih lengkap dalam menggambarkan
penanggalan, karena di dalamnya berpadu dua sistem penanggalan, baik
penanggalan berdasarkan sistem matahari (sonar/syamsiah) dan juga
penanggalan berdasarkan perputaran bulan (lunar/komariah).
Pada sistem kalender Jawa, terdapat dua siklus hari yaitu siklus 7 hari
seperti yang kita kenal saat ini, dan sistem panacawara yang mengenal 5
hari pasaran. Sejarah penggunaan kalender Jawa baru ini, dimulai pada
tahun 1625, dimana pada saat itu, sultan agung, raja kerajaan mataram,
yang sedang berusaha menytebarkan agama islam di pulau Jawa,
mengeluarkan dekrit agar wilayah kekuasaanya menggunakan sistem kalender
hijriah, namun angka tahun hijriah tidak digunakan demi asas
kesinambungan. Sehingga pada saat itu adalah tahun 1025 hijriah, namun
tetap menggunakan tahun saka, yaitu tahun 1547.
Dalam sistem kalender Jawa pun, terdapat dua versi nama-nama bulan,
yaitu nama bulan dalam kalender Jawa matahari, dan kalender Jawa bulan.
Nama- nama bulan dalam sistem kalender Jawa komariah (bulan) diantaranya
adalah suro, sapar, mulud, bakdamulud, jumadilawal, jumadil akhir,
rejeb, ruwah, poso, sawal, sela, dan dulkijah. Namun, pada tahun 1855 M,
karena sistem penanggalan komariah dianggap tidak cocok dijadikan
patokan petani dalam menentukan masa bercocok tanam, maka Sri Paduka
Mangkunegaran IV mengesahkan sistem kalender berdasarkan sistem
matahari. Dalam kalender matahari pun terdapat dua belas bulan .
2.7 Sistem Religi
Agama dan kepercayaan yang berkembang dan dianut oleh masyarakat Jawa,
antara lain islam sebagai agama mayoritas, selain itu terdapat pula
agama lain yang cukup banyak dianut, seperti kristen protestan, yang
cukup banyak dianut oleh masyarakat di sekitar semarang, surakarta, dan
solo. Katolik pun cukup berkembang di kalangan masyarakat Jawa, walaupun
persentase nya tidak sebesar agama kristen protestan. Di daerah
pedalaman pun, berkembang agama hindu dan budha, namun diantara kedua
agama tersebut, persentase pemeluk budha jauh lebih banyak dibanding
pemeluk hindu.
Kepercayaan lain yang cukup banyak pemeluknya, adalah kepercayaan yang
bernama kejawen. Kejawen ini, terkadang bercampur dengan agama islam,
sebagai agama mayoritas, sehingga menghasilkan suatu kepercayaan baru
yang bernama islam kejawen. Perbedaan paling mencolok antara islam
santri dengan islam kejawen adalah, pada islam kejawen, mereka tidak
terlalu mewajibkan shalat, puasa, dan naik haji, namun tetap percaya
pada Allah, dan Nabi Muhammad SAW. Kejawen dianggap memiliki makna
sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan
Jawa. pada pandangan umum, kejawen hanya berisi tentang seni, budaya,
tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orang Jawa.
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai
agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau
Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan
nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”).
Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan
menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam pandangan demikian, kejawen
memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama
pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi)
namun pembinaan dilakukan secara rutin.
Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari
tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan
mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik,
dan sebagainya. Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen
sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik
dan perdukunan.
Selain kejawen, ada beberapa aliran kepercayaan kebatinan yang berkembang di masyarakat Jawa, diantaranya adalah:
Gerakan atau aliran kebatinan yang percaya pada adanya sosok roh halus, jin, lelembut, dan berbagai makhluk gaib lainya.
Aliran kebatinan yang bersifat keislam-islaman, yang unsur kepercayaanya
banyak mengambil dari unsur ajaran-ajaran agama islam. Dan dibedakan
dengan syariat-syariat islam, yang pada beberapa tempat di Jawa telah
terpengaruh unsur budaya hindu-Jawa.
Aliran yang berbau agama hindu-Jawa. mengapa bisa dikatakan demikian?
Karena, para pengikut aliran ini, mempercayai dan bahkan memuja
dewa-dewa dari agama hindu, walaupun mereka sendiri tidak mengaku bahwa
mereka beragama hindu.
Yang terakhir adalah aliran mistik, dimana para penganutnya berusaha
mencari sendiri cara untuk memaknai tuhan, tanpa menganut agama apapun.
Selain membahas tentang agama dan kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat suku Jawa, pada pembahasan tentang sistem religi ini, kami
juga akan membahas tentang kepercayaan, dan ritual-ritual yang sering
dilakukan oleh orang Jawa.
Upacara Selamatan adalah upacara yang paling umum dan paling dikenal,
bukan hanya di Jawa, Sunda dan beberapa daerah lain pun mengadakan
selamatan untuk situasi-situasi tertentu. Pada dasarnya, selamatan
adalah kegiatan makan bersama, dimana makananya telah lebih dahulu
didoakan sebelum dibagikan. Tujuan selamatan ini sendiri adalah untuk
memperoleh keselamatan dan menjauhi gangguan. Upacara selamatan dibagi
menjadi empat macam yaitu:
Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, dimulai dengan upacara
nujuh bulanan, aqiqahan, potong rambut, turun tanah, terus berputar
hingga sampai pada saat kematian orang tersebut, mulai dari upacara
sedekah surtanah, sedekah nelung dina, sedekah mitung dina, sedekah
matangpulung dina, sedekah mendak pisan, dan sedekah nyewu.
Selamatan yang diadakan dalam rangka bersih desa, penggarapan tanha pertanian, dan setelah memanen padi.
Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari besar atau hari-hari keagamaan islam. Seperti muludan, malam satu suro, dll.
Selamatan yang dibuat pada waktu-waktu tertentu dan bersifat insidentil,
seperti saat menempati rumah baru, mendapatkan rizki, dan saat sembuh
dari sakit.
Sesajen adalah penyerahan sesaji pada waktu, tempat, dan keadaan
tertentu dalam rangka kepercayaan kepada makhluk halus. Tempat-tempat
yang dipilih biasanya dipilih tempat yang keramat, begitupun dengan
waktu, biasanya dipilih waktu-waktu yang dianggap keramat, seperti malam
jum’at kliwon. Sesajen biasanya terdiri dari kembang, kemenyan, cerutu,
kopi hitam, teh, dll yang disimpan dalam besek ataupun daun pisang.
Kepercayaan terhadap kekuatan sakti dari benda-benda atau makhluuk hidup
tertentu (kesakten). Kepercayaan terhadap kemampuan seperti keris,
gamelan, kereta kencana, bahkan pada burung perkutut.
Sadran adalah suatu upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa baru
(juga Sunda, dan madura). Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa, pada
bulan sebelum bulan puasa (reuwah/syaban). Upacara ini diisi dengan
acara mengunjungi makam (nyekar) ke makam keluarga, kerabat, atau
orang-orang yang dihormati. Biasanya orang Jawa non-muslim pun ikut
melakukan upacara ini.
Ngerak adalah suatu prosesi memandikan anak kecil berumur di bawah lima
tahun (Balita) di sebuah belik dengan kembang 7 rupa. Dari depan rumah
sampai tiba di belik, sang anak akan digendong dengan selendang berwarna
kuning. Lalu setelah dimandikan di belik, sang anak akan dibimbing
menaiki sebuah paramida yang berisi mainan, aksesoris dan lain-lain. Di
dekat piramida nanti akan ditempatkan seekor ayam panggang. Uniknya,
kebanyakan dari anak-anak tersebut kebanyakan mengambil bagian kaki dari
ayam panggang tersebut.
Mantu Poci adalah sebuah tradisi yang berasal dari Tegal (pantai utara
Jawa Tengah). Sebuah prosesi unik, dimana acara inti dari prosesi ini
adalah melangsungkan pernikahan antara dua poci teh berukuran raksasa.
Prosesi ini biasanya dilakukan oleh sepasang suami istri yang sudah lama
menikah tapi belum juga dikaruniai putra-putri. Mantu poci ini tak
berbeda dengan acara pernkahan biasa yang mengundang banyak kerabat dan
handai taulan.
Ruwatan adalah tradisi ritual asli dari Jawa sebagai sarana pembebasan
dan penyucian dari segala dosa yang mengakibatkan kesialan dalam hidup
orang yang akan diruwat. Upacara adat khas Jawa ini diperkirakan berasal
dari budaya Jawa kuno yang masih bersifat sinkretisme, tetapi sekarang
ini lebih sering dipadukan dengan ajaran agama agar tidak menyimpang.
Kutug merupakan ritual membakar kemenyan yang dilakukan oleh para
penganut kepercayaan tertentu dengan tujuan mendapatkan perlindungan,
keselamatan, dan berkah dari Sang Hyang Widi, upacara ini biasanya
dilakukan pada hari-hari tertentu.
Ngethingi adalah suatu bentuk tradisi tasyakuran atau pengucapan syukur
ketika moment peringatan terhadap seorang bayi pada usia tertentu.
Malam satu suro adalah peringatan pergantian tahun dalam kalender Jawa.
kalender ini terpengaruh dari kalender islam. Pada tahun 431 H atau
tahun 1443 tahun Jawa baru, sunan Giri dari kerajaan demak, membuat
penyesuaian antara tahun islam dan tahun Jawa.
Ngupat atau ngupati adalah upacara adat yang dilakukan oleh seorang ibu
yang sedang mengandung empat bulan yang bertujuan untuk keselamatan sang
ibu dan jabang bayinya, juga untuk menolak bala. Dalam acara ini, para
tamu yang hadir diberikan sajian kupat yang dimasukan ke dalam wadah
yang disebut besek, yang dibagikan saat pulang. Selain ngupat yang
diadakan pada bulan keempat, pada bulan kelima pun ada upacara serupa
yang bernama ngliman. Sedangkan pada bulan ketujuh, diadakan upacara
dengan tujuan serupa yang bernama mitoni atau tingkeban.
Mendhem ari-ari adalah prosesi yang dilakukan setelah sang jabang bayi
lahir. Hal ini juga umum dilakukan oleh suku-suku yang lain di
Indonesia. Ari-ari diistimewakan, karena sebagai penghubung antara sang
ibu dengan bayinya di dalam rahim, dalam kepercayaan orang Jawa, mereka
menganggap bahwa ari-ari adalah kembaran atau “sedulur kembar” sang bayi
tersebut. Selain mendhem ari-ari, masih ada beberapa upacara adat atau
ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang berkaitan dengan
kelahiran bayi yaitu:
Brokohan merupakan salah satu upacara adat Jawa untuk menyambut
kelahiran bayi, dengan tujuan agar sang bayi dapat lahir dengan selamat,
diberi perlindungan, juga agar kelak memiliki perangai yang baik.
Rangkaian acaranya dimulai dengan acara mendhem ari-ari, dan dilanjutkan
dengan membagi-bagikan sesajen brokohan kepada kerabat dan tetangga.
Sepasaran adalah upacara adat yang dilakukan pada saat si bayi berumur
lima hari. Acara ini umumnya diselenggarakan pada sore hari dengan acara
utama membagikan kendhuri dengan mengundang tetangga dan saudara.
Suguhan utama yang biasa disajikan adalah air minum dan jajanan pasar,
namu ada beberapa juga yang menyediakan besek untuk dibawa pulang.
Puputan sebenarnya memiliki arti “tali puser bayi puput”. Acara ini
diadakan pada saat sang bayi lepas tali pusarnya, biasanya dalam acara
ini ada kendhuri, bancakan, dan memberi nama bayi. Acara ini sebaiknya
dilaksanakan selepas maghrib.
Tedhak siten atau upacara turun tanah, adalah prosesi selanjutnya.
Prosesi ini, tidak hanya ditemukan di kalangan masyarakat Jawa, di
tempat lain di nusantara pun ditemukan upacara demikian. Acara ini
baisanya diadakan pada saat sang anak telah berumur 7 selapan (7×35=245
hari).
sumber : http://pemulungelitd19kk.wordpress.com/2013/09/30/kebudayaan-masyarakat-jawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar